25 Maret 2008
Mungkin halte bis yang paling terkenal di Jakarta adalah Halte Komdak. Walaupun kita tahu kalau halte-halte yang ada di Jakarta yang telah dilewati oleh jalur busway terkesan lebih keren karena setiap dilewati oleh bus transjakarta maka nama halte tersebut akan terdengar lewat rekaman suara perempuan otomatis dari speaker di dalam bus dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, di mana sebelumnya nama halte tersebut hanya terdengar lewat teriakan kasar kondektur metromini atau kopaja dan sejenisnya.
Nah, salah satu halte yang hingga tulisan ini diposting yaitu Halte Komdak belum dilewati oleh jalur busway namun sudah sangat terkenal dari dulu karena memang terletak di posisi yang sangat strategis. Halte Komdak berada di persimpangan jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot. Bahkan salah satu Plaza yang terletak di belakang Halte Komdak yakni Plaza Semanggi menyebut dirinya sebagai "The Best Meeting Point".
Penulis sediri kurang tahu apakah akan ada halte busway yang bernama komdak jika rencana jalur busway Pluit - Pinang Ranti benar-benar terwujud. Jalur Pluit - Pinang Ranti sendiri akan melewati salah satu jalur yang sangat ramai di Jakarta yaitu Jalan Gatot Subroto. Mungkin karena melewati jalur yang sangat rumit inilah yang membuat jalur busway belum rampumg juga. Yang jelas bahwa rencana jalur ini akan melewati Halte Komdak.
Nah, beberapa hari yang lalu penulis lewat di Halte ini dan rasanya pengen banget mengisi perut yang sedang kosong. Setelah mencari-cari akhirnya ketemu juga salah satu warung kopi di sekitar halte tersebut. Pemilik warung tersebut buru-buru beres-beres waktu saya bermaksud singgah di warungnya.
"Masuk aja pak, sabar tunggu sebentar ya", kata bapak si pemilik warung dengan sangat terburu-buru ke arah belakang.
"Ok, gak apa-apa kok", jawab saya.
"Maaf ya soalnya saya baru nyampe, tuh sepeda saya aja belum diturunin muatannya", dia membuka kembali percakapan setelah kembali dari belakang.
"Emang bapak tinggal di mana", tanya saya.
"Saya tinggal di Jatibening"
"Jatibening Bekasi maksud bapak, jadi bapak naik sepeda dari sana?"
"Iya, yang dekat Pondok Gede itu",jawabnya
"Naik sepeda dari Jatibening ke Komdak?"
"Iya, saya sudah 12 tahun naik sepeda terus"
"Kuat juga ya pak, emang umur bapak sekarang berapa?",tanya saya mulai penasaran
"Sudah hampir 50", jawabnya sambil tersenyum.
Bayangkan saja, umur sudah hampir 50 tahun tetapi tampangnya seperti umur 30-an. Saya sendiri kurang tahu berapa kilometer Jatibening Komdak tetapi jarak tersebut cukup jauh dan bapak itu bisa menempuh pulang pergi perjalanan setiap hari dengan naik sepeda.
"Abis kalau mau kos di daerah sini mahal-mahal", jawabnya melanjutkan percakapan.
"Kalau di Jatibening sudah rumah sendiri ya?", tanya saya.
"Alhamdulillah iya, saya beli tanah di daerah situ sekitar tahun 90-an dengan harga 50.000 per meter", jawabnya sambil seperti sambil mengenang perjuangan hidupnya sendiri.
"Kalau sekarang harga tanah per meter di sana udah berapa pak", tanya saya.
"Sekarang ma udah 300-an kali", jawabnya.
Percakapan kami berlangsung cukup lama dan saya merasa konyol sendiri dengan kehebatan dia. Dengan mengandalkan hasil dari membuka warung si pinggir-pinggir jalan bapak tersebut telah memiliki sebidang tanah dengan rumah di atasnya. Hebat banget pikir saya. Dia tidak perlu ongkos untuk transportasi, tidak perlu membayar sewa rumah, tidak perlu membayar cicilan rumah, apalagi kartu kredit. Di mana biaya-biaya seperti inilah yang begitu banyak menghabiskan gaji sebagaian besar masyarakat Jakarta.
Sebuah obrolan yang memberi pelajaran yang sangat berharga.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar, saya tunggu komentar dari pembaca:
Posting Komentar